Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 Mei 2012

Tesis Kode: 004. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB  I

P E N D A H U L U A N

A. LATAR BELAKANG
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 adalah
tonggak sejarah kemerdekaan Negara Indonesia lepas dari belenggu penjajahan.
Pernyataan kemerdekaan ini secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar (UUD) 1945 alenia ke-3 yang berbunyi :
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya “.
Penyataan ini mengandung amanat dan bermakna bahwa bangsa Indonesia
dalam melaksanakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat adalah
bebas sebagai suatu bangsa yang merdeka. Hal tersebut diatas tidak terlepas dari
tujuan politik hukum di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alenia ke-4
Pembukaan UUD 1945 terdapat cita – cita Negara Indonesia ,yaitu  : 
1.  Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.  Untuk memajukan kesejahteraan umum,
3.  Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 
4.  Ikut memelihara ketertiban dunia.
Berlandaskan hal ini, maka Negara Indonesia membentuk pemerintahan
dengan menyelenggarakan pembangunan, pembangunanan pada dasarnya
merupakan perubahan positif. Perubahan ini direncanakan dan digerakkan oleh
suatu pandangan yang optimis berorientasi ke masa depan yang mempunyai
tujuan kearah kemajuan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat kearah
yang lebih baik. Dengan kata lain hakiki pembangunan merupakan suatu proses
perubahan terus menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat. Perkembangan atau perubahan tersebut secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta
lingkungan.
Hakekat pembangunan Nasional adalah pembangunan bertujuan untuk
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya
untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata meteriil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Salah satu bagian pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang
hukum, yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform).
Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan
nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum
perdata maupun hukum administrasi, dan meliputi juga hukum formil maupun
hukum materielnya.
Dalam rangka membangun kerangka dasar hukum nasional, maka perlu
dipahami dan dihayati agar setiap membentuk hukum dan perundang-undangan
selalu berlandaskan moral, jiwa dan  hakikat yang terdapat dalam pandangan
hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta harus pula 
disesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman, khususnya sejalan dengan tuntutan
reformasi dibidang hukum. Oleh karena itu hukum harus mampu mengikuti
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Hukum bisa berfungsi
untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam masyarakat.
1

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya
menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-
nilai yang ada. Untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan  : 
“ Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia
yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.”
2

Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman
Sarikat Putra mengatakan3
, bahwa proses penegakan hukum itu menjangkau pula
sampai pada tahapan pembuatan  hukum/undang-undang. Perumusan pikiran
pembuat undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu nanti dijalankan. 
Hukum pidana materiel, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut
Barda Nawawi Arief  bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum
pidana (maksudnya hukum pidana materiel) terletak pada masalah mengenai yang
saling berkait, yaitu
4
 :
1.  perbuatan apa yang sepatutnya dipidana ;
2.  syarat apa yang seharusnya  dipenuhi untuk mempersalahkan/
mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan 
3.  sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut ;

Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung kebijakan Negara
dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada
umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau
kewenangan penguasa/penegak hukum dalam menjalankan tugasnya memastikan
bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan yang telah ditetapkan.
Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas
tiga tahapan yakni :
a.  tahap kebijakan legislatif/formulatif ;
b.  tahap kebijakan yudikatif/aplikatif  dan 
c.  tahap kebijakan eksekutif/administratif
Berdasar tiga uraian tahapan kebijakan penegakan hukum pidana tersebut
terkandung didalamnya tiga kekuasaan/kewenangan,  yaitu kekuasaan
legislatif/formulatif   berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan 
perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok 
dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum,
kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh
pembuat undang-undang, kekuasaan yudikatif/aplikatif   merupakan kekuasaan
dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan
dan kekuasaan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh
aparat pelaksana/eksekusi pidana.
  Berdasarkan tiga tahapan kebijakan penegakan hukum tersebut diatas
penanggulangan kejahatan selalu diorientasikan pada upaya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana  diutarakan oleh Barda Nawawi Arief
5

bahwa kebijakan atau upaya  penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada
hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat
(social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam
menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan
menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses
industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah
berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan
kehidupan mahluk didunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting 
tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen
lingkungan hidup.
6

Untuk itu dalam kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu system
penyangga kehidupan harus dijaga kelestariaannya. sebagaimana landasan
konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang  berbunyi :
“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”
Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga
akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut
memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan.
Seiring dengan semangat reformasi kegiatan penebangan kayu dan
pencurian kayu dihutan menjadi semakin marak apabila hal ini dibiarkan
berlangsung secara terus menerus kerusakan hutan Indonesia akan berdampak
pada terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, erosi/tanah
longsor, disfungsinya hutan sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari sisi
pendapatan Negara pemerintah Indonesia mengalami kerugian yang dihitung dari
pajak dan pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara. 
Sebagaimana laporan World Resource (2005) yang dimuat dalam Koran
Harian Kompas
7
 melaporkan, dalam kurun waktu  20 tahun kerusakan hutan di
Indonesia telah mencapai 43 juta hektar atau setara dengan seluruh luas gabungan
Negara Jerman dan Belanda.  Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagaimana
telah dimuat dalam Mingguan Detik telah berkomitmen untuk memerangi  illegal
logging.
8

Aktifitas illegal logging saat ini berjalan dengan lebih terbuka, transparan
dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas
pencurian kayu, modus yang biasanya  dilakukan adalah dengan melibatkan
banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya, mereka yang
berperan adalah buruh/penebang, pemodal (cukong), penyedia angkutan dan
pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan
birokrasi, aparat pemerintah, polisi, TNI).
Berdasarkan hasil penelitian FKKPM9
 modus yang digunakan dalam
praktek illegal logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal
lahan yang dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting) dan
adakalanya  illegal logging dilakukan melalui kerjasama antara perusahaan
pemegang izin HPH dengan para  cukong. Seringkali pemegang izin 
meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang kayu sitaan kepada pihak
cukong yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan tersebut.
Dalam hasil temuan lain modus yang biasa dilakukan dalam  illegal
logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang
dimilikinya maupun penebangan diluar  jatah tebang, serta memanipulasi isi
dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang
diperoleh dari praktek illegal logging.
Illegal loging terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal
berperan sebagai pelaksana dilapangan  dengan para cukong bertindak sebagai
pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya
cukong tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu hasil tebangan namun
juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk kebutuhan pengangkutan. 
Untuk mengatasi maraknya tindak pidana  illegal Logging  jajaran aparat
penegak hukum (penyidik Polri maupun  penyidik PPns yang lingkup tugasnya
bertanggungjawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim) telah
mempergunakan Undang-undang No. 41 tahun 1999 diubah dengan Undang-
undang No 19 tahun 2004 kedua undang-undang tersebut tentang Kehutanan
sebagai instrumen hukum untuk menanggulanggi tindak pidana  illegal logging,
meskipun secara limitatif undang-undang tersebut tidak menyebutkan adanya
istilah illegal logging. 
Yang dimaksud dengan  illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres
No. 5 Tahun 2001,
10
 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal
Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan
taman Nasional Tanjung Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan 
dengan tidak sah.
Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo11
,  illegal logging merupakan
penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan,
yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak
(milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah
ditetapkan dalam perizinan.
Didaerah-daerah pinggiran kawasan hutan Bojonegoro, Purwodadi
maupun Blora banyak ditemui kasus dimana orang/warga masyarakat karena
alasan ekonomi melakukan penebangan satu buah pohon kayu dihutan dengan
tanpa ijin, ditangkap, ditahan dan didakwa telah melakukan tindak pidana  illegal
logging sebagaimana ketentuan pasal  50 dalam Undang-undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan.
Sebelum berlakunya undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan 
tanpa ijin dari pejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasaldalam KUHP,
namun setelah berlakunya UU No. 41  tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap
perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang
tersebut dikenakan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 50 jo pasal 78 UU
No. 41 tahun 1999 yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan
dengan apabila dikenai pasal-pasal dalam KUHP.
Ketentuan penjelasan pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 yang dimaksud
dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun
badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang perumusan
tindak pidananya sehingga  sanksi pidana terhadap orang pribadi dan korporasi
juga diberlakukan sama.
Adanya berbagai kasus didaerah dimana seseorang  karena sekedar
memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil dan membawa sebatang
kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang  berwenang  dikenakan tindak pidana
illegal logging bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan menimbulkan
permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan  penanggulangan kejahatan
(criminal policy) sebagai upaya perlindungan masyarakat untuk mencapai
keadilan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran
cukup adilkah mereka yang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi/perut
diancam dengan hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas
mencuri kayu hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya. 
 Dalam mengantisipasi upaya  penanggulangan tindak pidana  Illegal Logging
ini menjadi sangat penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana
khususnya kebijakan legislatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu
perbuatan yang dianggap  sebagai tindak pidana  illegal Logging, syarat apa saja
yang harus dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang
melakukan perbuatan  illegal logging dan sanksi/pidana apa yang sepatutnya
dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan legislatif tersebut oleh
badan yudikatif.
 Dari berbagai uraian diatas maka penulis berkeinginan untuk meneliti lebih
dalam tentang hal tersebut dan penulis sajikan dalam bentuk uraian ilmiah (tesis)
dengan judul : “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM
MENANGGULANGI TINDAK PIDANA  ILLEGAL LOGGING”.

B..      PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut diatas,  maka selanjutnya dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.  Bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana  illegal logging dan
penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang ?
2.  Bagaimanakah perumusan kebijakan formulasi tindak pidana  illegal
logging dan penerapan sanksi pidana yang akan datang ? 
C. TUJUAN PENELITIAN 
Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan
arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan
permasalahan diatas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut :
1.  Untuk mengetahui dan menjelaskan kebijakan formulasi tindak pidana  illegal
Logging dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang.
2.  Untuk memberikan bahan masukan/kontribusi kepada badan legislatif dalam
merumuskan undang-undang khususnya dalam permasalahan penanganan
illegal Logging di masa yang akan datang.
D.  MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, baik untuk
kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis dalam
penanggulangan tindak pidana  Illegal Logging. Adapun kegunaan penelitian
tersebut adalah sebagai berikut :
1.  Kegunaan Teoritik
Untuk memenuhi salah satu syarat  dalam menyelesaikan Program Pasca
Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro.
2.  Kegunaan Praktis 
a.  Untuk penulis pribadi gunamengetahui dan menganalisis kebijakan
formulai tindak pidana  illegal logging dan penerapan sanksinya
berdasarkan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 
b.  Hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sumbangan pemikiran
bagi para pengambil kebijakan baik dalam tahap legislatif. 
E.  KERANGKA TEORI
        Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan
cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang
menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”12
. Dilihat sebagai suatu
masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan
ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.
Untuk dapat menjalankan hukum pidana  (substantif) perlu hukum yang dapat
menjalankan ketentuan-ketentuan yang  ada dalam hukum pidana (substantif)
yaitu hukum formil atau hukum acara pidana. Hukum pidana sendiri dalam arti
luas meliputi juga hukum subtantif/materiil dan hukum formil.
  Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan (PPK) termasuk bidang “kebijakan criminal” (“criminal policy”).
   Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
“kebijakan sosial” (“social policy”)   yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya
untuk kesejahteraan social” (“social walfare policy”) dan kebijakan/upaya-upaya
untuk melindungi masyarakat”  (“social-defence policy”). Dengan demikian
sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal ) dilakukan
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka  kebijakan hukum
pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif
(penegakan hukum  inconcreto) harus memperhatikan dan mengarah pada
                                                
12
 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984 hal
149
. tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social
defence”.
13

   Kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat
(social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) adalah sejalan
dengan konsep yang dianut oleh Marc Ancel (penganut aliran defense sosial yang
lebih moderat). Menurut Marc Ancel
14
 sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi
Arief dan Muladi menyatakan bahwa :
“Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-
peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama
tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu peranan yang besar  dari hukum pidana merupakan kebutuhan
yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.

Perlindungan individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana yang mendasari kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh
karena itu sistem hukum pidana, tindak  pidana, penilaian hakim terhadap si
pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni maupun pidana
merupakan lembaga-lembaga (institusi)  yang harus tetap dipertahankan. Hanya
saja dalam menggunakan hukum pidana Marc Ancel menolak penggunaan fiksi-
fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari pernyataan sosial 

  Dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana sasaran hukum pidana tidak hanya
mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur
perbuatan (kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat penegak hukum15

  Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat
penegak hukum tetapi juga menjadi tugas pembuat hukum (legislatif). Menurut
Barda Nawawi Arief bahwa tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan 
dan penanggulangan kejahatan adalah  tahap formulasi, oleh karena itu
kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang
dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan
pada tahap aplikasi dan eksekusi
16

Melihat  demikian penting dan strategisnya kebijakan formulasi maka dalam
menetapkan/merumuskan suatu perbuatan pidana beserta sanksi yang dikenakan
pada tahap kebijakan formulasi tersebut harus dilakukan secara cermat dan tepat.
Hal ini sesuai dengan konggres PBB IX  tentang “pencegahan kejahatan dan
pembinaan pelanggar” Di Kairo tanggal 29 April s/d 08 Mei 1995 yang
menyatakan  (… The Correctional system ispart of crime police and interelatif
with all the sectors of crime prefention and justice
  Menurut Soedarto, kebijakan kriminal mempunyai tiga arti
17

1.  Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggar hukum yang berupa pidana ;
2.  Dalam arti luas, ialah keseluruhan  fungsi dari aparatur penegak hukum
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3.  Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dalam kesempatan lain beliau mengemukakan, definisi singkat politik
kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan. Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang 
merumuskan sebagai  “The Rational Organization of  the Control of Crime by
Society” 
Kebijakan penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat  (Social Defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat  (Social Welfare).  Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal ialah
perlindungan masyarakat.
Menetapkan sistem pemidanaan dalam perundang-undangan sebagai salah
satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan merupakan salah satu bagian
dari kebijakan kriminal atau politik kriminal. 
Melaksanakan politik kriminal antara lain berarti membuat perencanaan
untuk masa yang akan datang dalam menghadapi atau menanggulangi masalah-
masalah yang berhubungan dengan kejahatan. Termasuk dalam perencanaan ini
adalah, disamping merumuskan perbuatan-perbuatan apa saja yang seharusnya
dijadikan tindak pidana, juga menetapkan sistem pemidanaan yang bagaimana
yang seharusnya bisa diterapkan kepada terpidana dengan tetap memperhatikan
hak-hak terpidana. 
Menurut Barda Nawawi Arief,
18
 pembaharuan hukum pidana menuntut
adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat
fundamental dan strategis. Termasuk dalam klasifikasi masalah yang demikian 
antara lain masalah kebijakan dalam  menetapkan/merumuskan suatu perbuatan
merupakan perbuatan pidana dan sanksi yang dapat dikenakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG SAYA

Foto saya
Juragan Tulis. Blog pelayanan konsultan penulisan, KTI, Tugas akhir, PTK, Skipsi, Tesia ataupun Perangkat pembelajaran. Silakan kontack kami di : juragan1257@gmail.com. Segala bentuk tulisan yang anda butuhkan, akan siap kami layani. Jasa Konsultan untuk masing-masing jenis tulisan adalah : 1. Makalah Word Doc. max 25 hal A4 Rp. 50.000,- 2. Tugas akhir Word Doc. max 75 hal A4 Rp. 100.000,- 3.Skripsi Word Doc. max 100 hal A4 Rp. 500.000,- 4. Tesis Word Doc. max 150 hal A4 Rp. 1.000.000,- 5. PTK Word Doc. max 75 hal A4 Rp. 350.000,- CARA ORDER DAN TRANSAKSI PEMBAYARAN LIHAT DI "atribution bol" halaman paling bawah. Terimakasih